Pada awal bulan Agustus, sebuah twit berita dari The Fader memicu tanggapan-tanggapan geram dari beberapa musisi. Bagaimana tidak? Di dalamnya, Daniel Ek, CEO dari Spotify, berpendapat bahwa sekarang dan di masa depan, merilis musik hanya sekali dalam tiga atau empat tahun tak lagi cukup baik. Pendapat tersebut mungkin saja akan ditanggapi dengan baik, jika didasari oleh kehausan serupa yang dirasakan oleh penggemar dalam menantikan rilisan-rilisan baru dari musisi favorit mereka. Namun, mendengarnya datang dari raksasa layanan aliran musik yang sering disebut-sebut tak adil dalam memberikan royalti kepada mereka, jelas saja mengundang respons-respons sentimental dari para musisi. Apalagi jika seharusnya hal tersebut dapat menjadi solusi bagi mereka untuk bertahan hidup selama pandemi. Sebentar, kalian belum tahu kalau Spotifiy ngawur dalam membagi pemasukan?

Spotify menggunakan sistem pembagian pendapatan yang disebut sebagai big pool. Mungkin terlalu panjang dan rumit untuk dipelajari, tapi intinya, uang yang kita bayarkan selama berlangganan bukan berarti hanya akan dibagikan ke kantong musisi yang kita dengarkan, melainkan ke kantong semua musisi yang didengarkan oleh semua orang. Apakah kalian pernah patungan dengan jumlah uang yang sama guna menikmati hidangan yang dapat dimakan sepuasnya? Jika kalian menjadi orang yang makan paling banyak, maka kalian akan merasa diuntungkan, tapi bagaimana jika kalian menjadi orang yang makan paling sedikit? Analoginya, kurang lebih seperti itu. Pada titik ini, kita mungkin menjadi pihak yang dirugikan.
Lalu, bagaimana dengan para musisi? Dengan metode pembagian pendapatan yang telah disebutkan sebelumnya, jelas musisi dengan penikmat yang hanya segelintir akan mendapatkan pemasukan yang tidak seberapa. Misalnya, jika seorang pengguna hanya memutarkan lagu dari Taylor Swift dan Gab Ferreira dalam jumlah yang sebanding selama ia berlangganan, tetap saja Taytay mendapatkan pemasukan yang lebih besar. Tentunya lebih banyak pengguna lain yang juga memutarkan lagu Taylor Swift ketimbang Gab Ferreira bukan? Lihat saja jumlah pendengar bulanannya. Pada titik ini, yang dirugikan adalah para musisi.
Ketidakadilan tersebut pernah memicu Thom Yorke untuk menarik salah satu albumnya dari Spotify pada 2013 lalu. Meskipun akhirnya The Eraser telah kembali terpampang di layanan aliran musik yang satu itu, bukan berarti perlawanan terhadapnya mati. Pandemi yang tengah terjadi jelas memotong aliran pendapatan seperti tur. Hal ini memperkuat alasan untuk menggugat cacat tersebut, hingga akhirnya beberapa musisi memutuskan untuk berserikat dalam memperjuangkan pemasukan yang lebih layak. Sebentar, Taytay, yang jumlah pendengarnya kelihatannya banyak, ternyata juga pernah tak terima dengan penghasilan diterima dari Spotify, ding.
Sampai di sini, mungkin sebuah pertanyaan terlintas, “Itu kan musisi luar negeri. Dalam besaran dolar Amerika mungkin jumlah pendapatannya terhitung sedikit, tapi bagaimana kalau dirupiahkan?” Joe Million baru-baru ini membeberkan total penghasilan yang ia terima dari Spotify semenjak 2016. Coba tebak berapa angkanya? Tiga tahun dan sekian bulan tersebut hanya memberikannya uang sebesar kurang lebih Rp 1.800.000. Tiga. Tahun. Tetapi, tak dapat dipungkiri, musisi-musisi dalam negeri dengan lalu lintas yang lebih ramai, mungkin saja mendapatkan pemasukan yang lebih dari layak.
Spotify tentunya bukan satu-satunya layanan aliran musik yang ada. Namun, walaupun memberikan upah per aliran yang berbeda-beda, tetap saja dibutuhkan lalu lintas yang cukup besar hanya untuk menghasilkan satu dolar pada layanan musik berbasis aliran manapun.
Berbeda dengan layanan musik berbasis aliran, dalam hal pembagian hasil, gerai musik digital memberikan perlakuan yang lebih layak kepada para musisi. Bandcamp, misalnya, meskipun telah menyerahkan 80-85% hasil penjualan langsung kepada musisi yang bersangkutan di hari biasa, nekat mempersembahkan 100% pendapatan penjualan khusus pada Jumat pertama di tiap bulan. Baru-baru ini, kolektif Noisewhore pun tergugah untuk memprakarsai sebuah gerai musik digital bernama Store Front yang dipastikan akan memberikan minimal 90% hasil penjualan langsung kepada sang musisi.
Meskipun begitu, bukan berarti gerai digital selalu lebih baik dalam segala faktor. Kelemahan inilah yang difasilitasi dengan lebih baik oleh layanan aliran musik. Hasilnya, keuntungan finansial yang kerap dinilai tak sepadan mungkin tergantikan oleh besarnya ekSp05yUr yang diperoleh. Yah, mungkin Spotify itu serupa dengan selebgram.

Tentu, sebagai konsumen, kita dapat memilih untuk tak mengacuhkan hal-hal tersebut. Toh, musik-musik yang diinginkan masih dapat dengan nyaman didengarkan. Namun, bukankah kita selalu mengharapkan musisi-musisi favorit kita dapat terus hidup dari dan untuk musik?
Beberapa musisi mungkin telah susah payah memperjuangkan hal tersebut. Pandemi yang tengah terjadi jelas menutup kemungkinan bagi kita dalam mendukung mereka dengan membeli tiket pertunjukan. Mungkin, kinilah saatnya untuk memberikan sokongan finansial dalam bentuk lain, sebab memutarkan lagu mereka hanya melalui layanan aliran musik jelas-jelas tak memberikan dampak yang signifikan.
— Dari Adrian untuk suara suara
Tema apa lagi ya yang menarik untuk dibahas? Sila usulkan kepada kami via Twitter maupun Instagram. Surel juga boleh! Atau bisa juga tinggalkan komentar kalian.
Kalau kamu suka dengan suara suara edisi ini, mungkin sebaiknya kamu bagikan juga ke temanmu! Minta mereka daftar juga, ya!